Pertanggungjawaban
Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Telah disebutkan bahwa salah satu prinsip Negara hukum
adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum
pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan berdasar pada asas
legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum, Karena pada
setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kewenangan, maka di
dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.
Tanggungjawab pemerintah terhadap warga negara atau
pihak ketiga dianut oleh hampir semua Negara berdasarkan atas hukum. Sekedar
contoh berikut ini dapat disebutkan salah satu Negara secara tegas memberikan
beban tanggung jawab kepada pemerintah, berdasarkan yurisprudenisi maupun
ketentuan hukum positifnya. Berdasarkan yurisprudensi Conseil d’Etat,
pemerintah atau Negara dibebani membayar ganti rugi kepada seseorang rakyat
atau warga Negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas administrasi. Berdasarkan
yurisprudensi yang ditentukan oleh House of Lord Inggris ditentukan bahwa raja
atau pemerintah bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat
kelalaian dan kecerobohan pejabat pemerintah dalam menjamin keselamatan
pelaksanaan tugas mereka. Hal tersebut menunjukkan kesamaan bahwa pemerintah
dibebani tanggung jawab hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Perbedaannya
hanyalah terletak pada lembaga peradilan yang memutuskan tuntutan dan gugatan terhadap
kerugian yang disebabkan oleh tindakan pemerintahan. Gugatan dan tuntutan atas
kerugian akibat tindakan pemerintah itu ada yang ditempuh melalui peradilan
administrasi dan ada yang melalui peradilan umum, tergantung pada hukum positif
yang ada pada masing-masing Negara.
Dalam persfektif hukum publick, tindakan hukum
pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa
instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan
(besluit), peraturan kebijaksanaan (beleidstegel) dan ketetapan (bessikking). Di
samping itu pemerintah juga sering mengunakan instrumen hukum keperdataan
seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban dan tuntutan
ganti kerugian, dalam tulisan ini secara khusus dibatasi pada hubungan hukum
ekstern dan akibat hukum yang bersifat khusus. Dalam hal ini instrumen hukum
yang dimaksudkan adalah KTUN, yakni suatu instrumen hukum yang memiliki sifat
individual dan final, yang berarti sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) secara langsung bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Setiap pengunaan kewenangan itu di dalamnya
terkandung pertangungjawaban. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang
mengeluarkan ketetapan atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribusi dan
delegasi adalah sebagai pihak yang memikul pertangungjawaban hukum, sedangkan
badan atau pejabat tata usaha Negara yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas
dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab adalah pemberi mandat
(mandans).
Tindakan jabatan itu dilakukan oleh wakil yang
disebut pejabat,dan yang disebut sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan
kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Sementara itu ketika seseorang itu
melakukan perbuatan hukum yang bukan dalam rangka jabatan atau bertindak tidak
sesuai dengan kewenangan yang ada pada jabatan itu, maka ia tidak dapat
dikategorikan sebagai pejabat yang tidak berwenang.Dalam bidang public akibat
hokum yang lahir bukan dari pejabat yang bertindak untuk dan atas nama jabatan
atau dari pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak pernah ada atau dianggap
sebagai penyimpangan hukum, yang jika akibat hukumnya itu menimbulkan kerugian
bagi pihak lain dapat dituntut secara hukum.
Menurut F.R Bothlingk, baik wakil maupun yang
diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung
jawab, lebih lanjut disebutkan berkenaan dengan perbuatan hukum, jawabannya
jelas, perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara
khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan yakni pihak yang
diwakili.Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri karena itu meletakkan
tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.
Atas
dasar itulah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan akibat
tindakan hukum pemerintahan diajukan terhadap Badan Tata Usaha Negara, bukan
terhadap manusia-pejabat, dan alamat tergugat sebagai salah satu syarat formal
gugatan adalah alamat instansi bukan alamat rumah manusia-pejabat.
Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa
pemikul tanggung jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu ganti rugi juga
dibebankan kepada instansi/jabatan bukan kepada manusia-pejabat. Bila dikatakan
bahwa pemikul tanggung jawab dan beban kerugian itu berada dan ditanggung
jabatan, apakah dengan begitu manusia-pejabat itu betul-betul bebas dari
tangung jawab hukum dan lepas dari tuntutan ganti kerugian? terhadap pertanyaan
ini di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat. ada yang berpendapat
tidak dapat dibebani tangung jawab dan dituntut ganti rugi dengan alasan
pejabat itu bertindak dalam rangka menyelanggarakan fungsi dan tugas Negara
atau pemerintah di bidang publik.
Dengan merujuk kepada pendapat Bothingk jika yang
dimaksud dengan kesalahan subyektif itu merupakan tindakan amoral,itikad
buruk,lalai,sembrono agaknya tidak mudah bagi hakim administrasi khusunya di
Indonesia untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan subyektif dalam pembuatan dan
penerbitan KTUN. Dalam hal ini hakim tidak cukup hanya mengunakan alat uji
peraturan perundang-uandangan dan asas-asas umum pemerintah yang baik
Sesudah
melalui proses peradilan dan telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap, selanjutnya pelaksanaan tanggung jawab hukum itu berlangsung dalam
praktik, khususnya yang berkaitan dengan KTUN yang dinyatakan tidak sah atau
batal oleh hakim.
Setelah itu kita akan membahas mengenai bagaiamana
pertanggungjawaban manusia-pejabat terhadap jabatannya. Pejabat adalah manusia
yang menjalankan tugas dan kewenangan yang melekat pada jabatan. Sebagai
manusia, pejabat dapat melakukan kekliruan, kesalahan, dan kekhilafan atau
melakukan kesalahan subyektif dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatan
terutama dalam mengeluarkan KTUN yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak
lain. Oleh karena itu pengenaan sanksi kepegawaian terhadap pejabat yang
bersangkutan dapat dilakukan, baik dalam bentuk denda sebagai ganti kerugian
Negara maupun hukuman disipliner.
Selain Pertanggungjawaban
Pemerintah dalam hukum Administrasi yang dikemukakan oleh HR.Ridwan, berikut
ini ada juga pendapat yang dikemukakan oleh Winahyu Erwiningsih
Pertanggungjawaban
pemerintahan dalam bidang hukum adminstrasi terdapat empat kemungkinan penyebabnya
yakni karena tindakan penguasa: (1) melahirkan keputusan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan; (2) penyalahgunaan wewenang; (3) sewenang-wenang;
(4) bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Demikian pula
penegakan pertanggungjawaban pemerintahan dalam hukum administrasi antara lain
dapat dilihat dari UU No. 24 Tahun 1992 tadi dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya menyatakan bahwa pemerintah dalam
penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, serta dalam hal pemberian izin
harus bersifat transparan dan terbuka. Pemerintah wajib mengumumkan kepada
masyarakat tentang adanya rencana tata ruang dan juga adanya izin bagi kegiatan
usaha. Maksud dari pengumuman secara terbuka ini adalah masyarakat diberi dan
dijamin haknya untuk: (a) mengakses informasi; (b) ikut mengkaji; (c)memberikan
opini dan atau keberatan; (d) ikut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan;
(e)ikut mengawasi jalannya pelaksanaan putusan tersebut. Selain itu terdapat
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya menyatakan bahwa hak menguasai
negara terhadap pengelolaan kekayaan sunber daya alam itu harus benar-benar
ditujukan bagi kemakmuran rakyat, pernyataan pasal ini sudah menggaris bawahi pemerintah
bahwa tidak satupun alasan dari pemerintah untuk tidak melaskanakan pasal
tersebut secara konsekuen.
Tanggung Jawab ini
sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam memposisikan kedudukan
pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki
wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi
dan seterusnya, yang merupakan serangkaian “kekuasaan” dalam upaya mencapai
tujuan hidup bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk
memperoleh perlindungan hukum dari berbagai tindakan pemerintah yang mungkin
dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Adanya asas tanggung jawab
pemerintahan ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi
timbulnya peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh
pemerintahan yang demokratis. Dengan dilaksanakannya prinsip tanggung jawab pemerintahan
ini secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya akan meningkatkan pula
wibawa dan martabat pemerintah di mata rakyatnya, sebab apabila pemerintah rela
untuk menegakkan asas tanggung jawab pemerintahan ini maka setidaknya akan
tercapai beberapa hal yang penting yakni: (a) ditegakkannya prinsip Negara
hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan di hadapan hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, karena pemerintah pun ternyata menghormati dan
taat pada hukum; (b) mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih
menganut
budaya paternalistik, maka dengan adanya asas tanggung jawab
pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela.
(HR.Ridwan hal.357 dan Winahyu Erwiningsih,
HTTP//eprints.ums.ac.id/Winahyu Erwiningsih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar