Kamis, 04 Oktober 2012

Hukum Agraria



Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Telah disebutkan bahwa salah satu prinsip Negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan berdasar pada asas legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum, Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.
Tanggungjawab pemerintah terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua Negara berdasarkan atas hukum. Sekedar contoh berikut ini dapat disebutkan salah satu Negara secara tegas memberikan beban tanggung jawab kepada pemerintah, berdasarkan yurisprudenisi maupun ketentuan hukum positifnya. Berdasarkan yurisprudensi Conseil d’Etat, pemerintah atau Negara dibebani membayar ganti rugi kepada seseorang rakyat atau warga Negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas administrasi. Berdasarkan yurisprudensi yang ditentukan oleh House of Lord Inggris ditentukan bahwa raja atau pemerintah bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat kelalaian dan kecerobohan pejabat pemerintah dalam menjamin keselamatan pelaksanaan tugas mereka. Hal tersebut menunjukkan kesamaan bahwa pemerintah dibebani tanggung jawab hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Perbedaannya hanyalah terletak pada lembaga peradilan yang memutuskan tuntutan dan gugatan terhadap kerugian yang disebabkan oleh tindakan pemerintahan. Gugatan dan tuntutan atas kerugian akibat tindakan pemerintah itu ada yang ditempuh melalui peradilan administrasi dan ada yang melalui peradilan umum, tergantung pada hukum positif yang ada pada masing-masing Negara.
Dalam persfektif hukum publick, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan (besluit), peraturan kebijaksanaan (beleidstegel) dan ketetapan (bessikking). Di samping itu pemerintah juga sering mengunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban dan tuntutan ganti kerugian, dalam tulisan ini secara khusus dibatasi pada hubungan hukum ekstern dan akibat hukum yang bersifat khusus. Dalam hal ini instrumen hukum yang dimaksudkan adalah KTUN, yakni suatu instrumen hukum yang memiliki sifat individual dan final, yang berarti sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) secara langsung bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Setiap pengunaan kewenangan itu di dalamnya terkandung pertangungjawaban. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan ketetapan atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribusi dan delegasi adalah sebagai pihak yang memikul pertangungjawaban hukum, sedangkan badan atau pejabat tata usaha Negara yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab adalah pemberi mandat (mandans).
Tindakan jabatan itu dilakukan oleh wakil yang disebut pejabat,dan yang disebut sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Sementara itu ketika seseorang itu melakukan perbuatan hukum yang bukan dalam rangka jabatan atau bertindak tidak sesuai dengan kewenangan yang ada pada jabatan itu, maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai pejabat yang tidak berwenang.Dalam bidang public akibat hokum yang lahir bukan dari pejabat yang bertindak untuk dan atas nama jabatan atau dari pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak pernah ada atau dianggap sebagai penyimpangan hukum, yang jika akibat hukumnya itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain dapat dituntut secara hukum.
Menurut F.R Bothlingk, baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab, lebih lanjut disebutkan berkenaan dengan perbuatan hukum, jawabannya jelas, perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan yakni pihak yang diwakili.Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri karena itu meletakkan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.
Atas dasar itulah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan akibat tindakan hukum pemerintahan diajukan terhadap Badan Tata Usaha Negara, bukan terhadap manusia-pejabat, dan alamat tergugat sebagai salah satu syarat formal gugatan adalah alamat instansi bukan alamat rumah manusia-pejabat.
Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu ganti rugi juga dibebankan kepada instansi/jabatan bukan kepada manusia-pejabat. Bila dikatakan bahwa pemikul tanggung jawab dan beban kerugian itu berada dan ditanggung jabatan, apakah dengan begitu manusia-pejabat itu betul-betul bebas dari tangung jawab hukum dan lepas dari tuntutan ganti kerugian? terhadap pertanyaan ini di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat. ada yang berpendapat tidak dapat dibebani tangung jawab dan dituntut ganti rugi dengan alasan pejabat itu bertindak dalam rangka menyelanggarakan fungsi dan tugas Negara atau pemerintah di bidang publik.
Dengan merujuk kepada pendapat Bothingk jika yang dimaksud dengan kesalahan subyektif itu merupakan tindakan amoral,itikad buruk,lalai,sembrono agaknya tidak mudah bagi hakim administrasi khusunya di Indonesia untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan subyektif dalam pembuatan dan penerbitan KTUN. Dalam hal ini hakim tidak cukup hanya mengunakan alat uji peraturan perundang-uandangan dan asas-asas umum pemerintah yang baik
Sesudah melalui proses peradilan dan telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, selanjutnya pelaksanaan tanggung jawab hukum itu berlangsung dalam praktik, khususnya yang berkaitan dengan KTUN yang dinyatakan tidak sah atau batal oleh hakim.
Setelah itu kita akan membahas mengenai bagaiamana pertanggungjawaban manusia-pejabat terhadap jabatannya. Pejabat adalah manusia yang menjalankan tugas dan kewenangan yang melekat pada jabatan. Sebagai manusia, pejabat dapat melakukan kekliruan, kesalahan, dan kekhilafan atau melakukan kesalahan subyektif dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatan terutama dalam mengeluarkan KTUN yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Oleh karena itu pengenaan sanksi kepegawaian terhadap pejabat yang bersangkutan dapat dilakukan, baik dalam bentuk denda sebagai ganti kerugian Negara maupun hukuman disipliner.
Selain Pertanggungjawaban Pemerintah dalam hukum Administrasi yang dikemukakan oleh HR.Ridwan, berikut ini ada juga pendapat yang dikemukakan oleh Winahyu Erwiningsih
Pertanggungjawaban pemerintahan dalam bidang hukum adminstrasi terdapat empat kemungkinan penyebabnya yakni karena tindakan penguasa: (1) melahirkan keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (2) penyalahgunaan wewenang; (3) sewenang-wenang; (4) bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Demikian pula penegakan pertanggungjawaban pemerintahan dalam hukum administrasi antara lain dapat dilihat dari UU No. 24 Tahun 1992 tadi dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya menyatakan bahwa pemerintah dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, serta dalam hal pemberian izin harus bersifat transparan dan terbuka. Pemerintah wajib mengumumkan kepada masyarakat tentang adanya rencana tata ruang dan juga adanya izin bagi kegiatan usaha. Maksud dari pengumuman secara terbuka ini adalah masyarakat diberi dan dijamin haknya untuk: (a) mengakses informasi; (b) ikut mengkaji; (c)memberikan opini dan atau keberatan; (d) ikut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan; (e)ikut mengawasi jalannya pelaksanaan putusan tersebut. Selain itu terdapat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya menyatakan bahwa hak menguasai negara terhadap pengelolaan kekayaan sunber daya alam itu harus benar-benar ditujukan bagi kemakmuran rakyat, pernyataan pasal ini sudah menggaris bawahi pemerintah bahwa tidak satupun alasan dari pemerintah untuk tidak melaskanakan pasal tersebut secara konsekuen.
Tanggung Jawab ini sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam memposisikan kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi dan seterusnya, yang merupakan serangkaian “kekuasaan” dalam upaya mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbagai tindakan pemerintah yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintahan yang demokratis. Dengan dilaksanakannya prinsip tanggung jawab pemerintahan ini secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya akan meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah di mata rakyatnya, sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan asas tanggung jawab pemerintahan ini maka setidaknya akan tercapai beberapa hal yang penting yakni: (a) ditegakkannya prinsip Negara hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan di hadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena pemerintah pun ternyata menghormati dan taat pada hukum; (b) mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih menganut
budaya paternalistik, maka dengan adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela.
(HR.Ridwan hal.357 dan Winahyu Erwiningsih, HTTP//eprints.ums.ac.id/Winahyu Erwiningsih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar