Kamis, 04 Oktober 2012

Hukum Agraria



Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Telah disebutkan bahwa salah satu prinsip Negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan berdasar pada asas legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum, Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.
Tanggungjawab pemerintah terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua Negara berdasarkan atas hukum. Sekedar contoh berikut ini dapat disebutkan salah satu Negara secara tegas memberikan beban tanggung jawab kepada pemerintah, berdasarkan yurisprudenisi maupun ketentuan hukum positifnya. Berdasarkan yurisprudensi Conseil d’Etat, pemerintah atau Negara dibebani membayar ganti rugi kepada seseorang rakyat atau warga Negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas administrasi. Berdasarkan yurisprudensi yang ditentukan oleh House of Lord Inggris ditentukan bahwa raja atau pemerintah bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat kelalaian dan kecerobohan pejabat pemerintah dalam menjamin keselamatan pelaksanaan tugas mereka. Hal tersebut menunjukkan kesamaan bahwa pemerintah dibebani tanggung jawab hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Perbedaannya hanyalah terletak pada lembaga peradilan yang memutuskan tuntutan dan gugatan terhadap kerugian yang disebabkan oleh tindakan pemerintahan. Gugatan dan tuntutan atas kerugian akibat tindakan pemerintah itu ada yang ditempuh melalui peradilan administrasi dan ada yang melalui peradilan umum, tergantung pada hukum positif yang ada pada masing-masing Negara.
Dalam persfektif hukum publick, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan (besluit), peraturan kebijaksanaan (beleidstegel) dan ketetapan (bessikking). Di samping itu pemerintah juga sering mengunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban dan tuntutan ganti kerugian, dalam tulisan ini secara khusus dibatasi pada hubungan hukum ekstern dan akibat hukum yang bersifat khusus. Dalam hal ini instrumen hukum yang dimaksudkan adalah KTUN, yakni suatu instrumen hukum yang memiliki sifat individual dan final, yang berarti sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) secara langsung bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Setiap pengunaan kewenangan itu di dalamnya terkandung pertangungjawaban. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan ketetapan atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribusi dan delegasi adalah sebagai pihak yang memikul pertangungjawaban hukum, sedangkan badan atau pejabat tata usaha Negara yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab adalah pemberi mandat (mandans).
Tindakan jabatan itu dilakukan oleh wakil yang disebut pejabat,dan yang disebut sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Sementara itu ketika seseorang itu melakukan perbuatan hukum yang bukan dalam rangka jabatan atau bertindak tidak sesuai dengan kewenangan yang ada pada jabatan itu, maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai pejabat yang tidak berwenang.Dalam bidang public akibat hokum yang lahir bukan dari pejabat yang bertindak untuk dan atas nama jabatan atau dari pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak pernah ada atau dianggap sebagai penyimpangan hukum, yang jika akibat hukumnya itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain dapat dituntut secara hukum.
Menurut F.R Bothlingk, baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab, lebih lanjut disebutkan berkenaan dengan perbuatan hukum, jawabannya jelas, perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan yakni pihak yang diwakili.Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri karena itu meletakkan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.
Atas dasar itulah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan akibat tindakan hukum pemerintahan diajukan terhadap Badan Tata Usaha Negara, bukan terhadap manusia-pejabat, dan alamat tergugat sebagai salah satu syarat formal gugatan adalah alamat instansi bukan alamat rumah manusia-pejabat.
Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu ganti rugi juga dibebankan kepada instansi/jabatan bukan kepada manusia-pejabat. Bila dikatakan bahwa pemikul tanggung jawab dan beban kerugian itu berada dan ditanggung jabatan, apakah dengan begitu manusia-pejabat itu betul-betul bebas dari tangung jawab hukum dan lepas dari tuntutan ganti kerugian? terhadap pertanyaan ini di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat. ada yang berpendapat tidak dapat dibebani tangung jawab dan dituntut ganti rugi dengan alasan pejabat itu bertindak dalam rangka menyelanggarakan fungsi dan tugas Negara atau pemerintah di bidang publik.
Dengan merujuk kepada pendapat Bothingk jika yang dimaksud dengan kesalahan subyektif itu merupakan tindakan amoral,itikad buruk,lalai,sembrono agaknya tidak mudah bagi hakim administrasi khusunya di Indonesia untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan subyektif dalam pembuatan dan penerbitan KTUN. Dalam hal ini hakim tidak cukup hanya mengunakan alat uji peraturan perundang-uandangan dan asas-asas umum pemerintah yang baik
Sesudah melalui proses peradilan dan telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, selanjutnya pelaksanaan tanggung jawab hukum itu berlangsung dalam praktik, khususnya yang berkaitan dengan KTUN yang dinyatakan tidak sah atau batal oleh hakim.
Setelah itu kita akan membahas mengenai bagaiamana pertanggungjawaban manusia-pejabat terhadap jabatannya. Pejabat adalah manusia yang menjalankan tugas dan kewenangan yang melekat pada jabatan. Sebagai manusia, pejabat dapat melakukan kekliruan, kesalahan, dan kekhilafan atau melakukan kesalahan subyektif dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatan terutama dalam mengeluarkan KTUN yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Oleh karena itu pengenaan sanksi kepegawaian terhadap pejabat yang bersangkutan dapat dilakukan, baik dalam bentuk denda sebagai ganti kerugian Negara maupun hukuman disipliner.
Selain Pertanggungjawaban Pemerintah dalam hukum Administrasi yang dikemukakan oleh HR.Ridwan, berikut ini ada juga pendapat yang dikemukakan oleh Winahyu Erwiningsih
Pertanggungjawaban pemerintahan dalam bidang hukum adminstrasi terdapat empat kemungkinan penyebabnya yakni karena tindakan penguasa: (1) melahirkan keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (2) penyalahgunaan wewenang; (3) sewenang-wenang; (4) bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Demikian pula penegakan pertanggungjawaban pemerintahan dalam hukum administrasi antara lain dapat dilihat dari UU No. 24 Tahun 1992 tadi dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya menyatakan bahwa pemerintah dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, serta dalam hal pemberian izin harus bersifat transparan dan terbuka. Pemerintah wajib mengumumkan kepada masyarakat tentang adanya rencana tata ruang dan juga adanya izin bagi kegiatan usaha. Maksud dari pengumuman secara terbuka ini adalah masyarakat diberi dan dijamin haknya untuk: (a) mengakses informasi; (b) ikut mengkaji; (c)memberikan opini dan atau keberatan; (d) ikut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan; (e)ikut mengawasi jalannya pelaksanaan putusan tersebut. Selain itu terdapat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya menyatakan bahwa hak menguasai negara terhadap pengelolaan kekayaan sunber daya alam itu harus benar-benar ditujukan bagi kemakmuran rakyat, pernyataan pasal ini sudah menggaris bawahi pemerintah bahwa tidak satupun alasan dari pemerintah untuk tidak melaskanakan pasal tersebut secara konsekuen.
Tanggung Jawab ini sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam memposisikan kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi dan seterusnya, yang merupakan serangkaian “kekuasaan” dalam upaya mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbagai tindakan pemerintah yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintahan yang demokratis. Dengan dilaksanakannya prinsip tanggung jawab pemerintahan ini secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya akan meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah di mata rakyatnya, sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan asas tanggung jawab pemerintahan ini maka setidaknya akan tercapai beberapa hal yang penting yakni: (a) ditegakkannya prinsip Negara hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan di hadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena pemerintah pun ternyata menghormati dan taat pada hukum; (b) mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih menganut
budaya paternalistik, maka dengan adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela.
(HR.Ridwan hal.357 dan Winahyu Erwiningsih, HTTP//eprints.ums.ac.id/Winahyu Erwiningsih)

Hukum Administrasi Negara



Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Telah disebutkan bahwa salah satu prinsip Negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan berdasar pada asas legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum, Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.
Tanggungjawab pemerintah terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua Negara berdasarkan atas hukum. Sekedar contoh berikut ini dapat disebutkan salah satu Negara secara tegas memberikan beban tanggung jawab kepada pemerintah, berdasarkan yurisprudenisi maupun ketentuan hukum positifnya. Berdasarkan yurisprudensi Conseil d’Etat, pemerintah atau Negara dibebani membayar ganti rugi kepada seseorang rakyat atau warga Negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas administrasi. Berdasarkan yurisprudensi yang ditentukan oleh House of Lord Inggris ditentukan bahwa raja atau pemerintah bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat kelalaian dan kecerobohan pejabat pemerintah dalam menjamin keselamatan pelaksanaan tugas mereka. Hal tersebut menunjukkan kesamaan bahwa pemerintah dibebani tanggung jawab hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Perbedaannya hanyalah terletak pada lembaga peradilan yang memutuskan tuntutan dan gugatan terhadap kerugian yang disebabkan oleh tindakan pemerintahan. Gugatan dan tuntutan atas kerugian akibat tindakan pemerintah itu ada yang ditempuh melalui peradilan administrasi dan ada yang melalui peradilan umum, tergantung pada hukum positif yang ada pada masing-masing Negara.
Dalam persfektif hukum publick, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan (besluit), peraturan kebijaksanaan (beleidstegel) dan ketetapan (bessikking). Di samping itu pemerintah juga sering mengunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban dan tuntutan ganti kerugian, dalam tulisan ini secara khusus dibatasi pada hubungan hukum ekstern dan akibat hukum yang bersifat khusus. Dalam hal ini instrumen hukum yang dimaksudkan adalah KTUN, yakni suatu instrumen hukum yang memiliki sifat individual dan final, yang berarti sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) secara langsung bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Setiap pengunaan kewenangan itu di dalamnya terkandung pertangungjawaban. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan ketetapan atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribusi dan delegasi adalah sebagai pihak yang memikul pertangungjawaban hukum, sedangkan badan atau pejabat tata usaha Negara yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab adalah pemberi mandat (mandans).
Tindakan jabatan itu dilakukan oleh wakil yang disebut pejabat,dan yang disebut sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Sementara itu ketika seseorang itu melakukan perbuatan hukum yang bukan dalam rangka jabatan atau bertindak tidak sesuai dengan kewenangan yang ada pada jabatan itu, maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai pejabat yang tidak berwenang.Dalam bidang public akibat hokum yang lahir bukan dari pejabat yang bertindak untuk dan atas nama jabatan atau dari pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak pernah ada atau dianggap sebagai penyimpangan hukum, yang jika akibat hukumnya itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain dapat dituntut secara hukum.
Menurut F.R Bothlingk, baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab, lebih lanjut disebutkan berkenaan dengan perbuatan hukum, jawabannya jelas, perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan yakni pihak yang diwakili.Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri karena itu meletakkan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.
Atas dasar itulah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan akibat tindakan hukum pemerintahan diajukan terhadap Badan Tata Usaha Negara, bukan terhadap manusia-pejabat, dan alamat tergugat sebagai salah satu syarat formal gugatan adalah alamat instansi bukan alamat rumah manusia-pejabat.
Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu ganti rugi juga dibebankan kepada instansi/jabatan bukan kepada manusia-pejabat. Bila dikatakan bahwa pemikul tanggung jawab dan beban kerugian itu berada dan ditanggung jabatan, apakah dengan begitu manusia-pejabat itu betul-betul bebas dari tangung jawab hukum dan lepas dari tuntutan ganti kerugian? terhadap pertanyaan ini di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat. ada yang berpendapat tidak dapat dibebani tangung jawab dan dituntut ganti rugi dengan alasan pejabat itu bertindak dalam rangka menyelanggarakan fungsi dan tugas Negara atau pemerintah di bidang publik.
Dengan merujuk kepada pendapat Bothingk jika yang dimaksud dengan kesalahan subyektif itu merupakan tindakan amoral,itikad buruk,lalai,sembrono agaknya tidak mudah bagi hakim administrasi khusunya di Indonesia untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan subyektif dalam pembuatan dan penerbitan KTUN. Dalam hal ini hakim tidak cukup hanya mengunakan alat uji peraturan perundang-uandangan dan asas-asas umum pemerintah yang baik
Sesudah melalui proses peradilan dan telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, selanjutnya pelaksanaan tanggung jawab hukum itu berlangsung dalam praktik, khususnya yang berkaitan dengan KTUN yang dinyatakan tidak sah atau batal oleh hakim.
Setelah itu kita akan membahas mengenai bagaiamana pertanggungjawaban manusia-pejabat terhadap jabatannya. Pejabat adalah manusia yang menjalankan tugas dan kewenangan yang melekat pada jabatan. Sebagai manusia, pejabat dapat melakukan kekliruan, kesalahan, dan kekhilafan atau melakukan kesalahan subyektif dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatan terutama dalam mengeluarkan KTUN yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Oleh karena itu pengenaan sanksi kepegawaian terhadap pejabat yang bersangkutan dapat dilakukan, baik dalam bentuk denda sebagai ganti kerugian Negara maupun hukuman disipliner.
Selain Pertanggungjawaban Pemerintah dalam hukum Administrasi yang dikemukakan oleh HR.Ridwan, berikut ini ada juga pendapat yang dikemukakan oleh Winahyu Erwiningsih
Pertanggungjawaban pemerintahan dalam bidang hukum adminstrasi terdapat empat kemungkinan penyebabnya yakni karena tindakan penguasa: (1) melahirkan keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (2) penyalahgunaan wewenang; (3) sewenang-wenang; (4) bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Demikian pula penegakan pertanggungjawaban pemerintahan dalam hukum administrasi antara lain dapat dilihat dari UU No. 24 Tahun 1992 tadi dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya menyatakan bahwa pemerintah dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, serta dalam hal pemberian izin harus bersifat transparan dan terbuka. Pemerintah wajib mengumumkan kepada masyarakat tentang adanya rencana tata ruang dan juga adanya izin bagi kegiatan usaha. Maksud dari pengumuman secara terbuka ini adalah masyarakat diberi dan dijamin haknya untuk: (a) mengakses informasi; (b) ikut mengkaji; (c)memberikan opini dan atau keberatan; (d) ikut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan; (e)ikut mengawasi jalannya pelaksanaan putusan tersebut. Selain itu terdapat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya menyatakan bahwa hak menguasai negara terhadap pengelolaan kekayaan sunber daya alam itu harus benar-benar ditujukan bagi kemakmuran rakyat, pernyataan pasal ini sudah menggaris bawahi pemerintah bahwa tidak satupun alasan dari pemerintah untuk tidak melaskanakan pasal tersebut secara konsekuen.
Tanggung Jawab ini sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam memposisikan kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi dan seterusnya, yang merupakan serangkaian “kekuasaan” dalam upaya mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbagai tindakan pemerintah yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintahan yang demokratis. Dengan dilaksanakannya prinsip tanggung jawab pemerintahan ini secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya akan meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah di mata rakyatnya, sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan asas tanggung jawab pemerintahan ini maka setidaknya akan tercapai beberapa hal yang penting yakni: (a) ditegakkannya prinsip Negara hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan di hadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena pemerintah pun ternyata menghormati dan taat pada hukum; (b) mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih menganut
budaya paternalistik, maka dengan adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela.
(HR.Ridwan hal.357 dan Winahyu Erwiningsih, HTTP//eprints.ums.ac.id/Winahyu Erwiningsih)

Hukum Internasional



EKSISTENSI KEBIASAAN INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A. PENGERTIAN KEBIASAAN (COSTORY)
 Istilah ‘kebiasaan’ (custom) dan adat istiadat’ (usage) sering digunakan secara bergantian. Secara tegas dapat dikatakan, ada suatu perbedaan teknis yang tegas di antara kedua istilah tersebut. Adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Kebiasaan mulai apabila adat istiadat berakhir. Adat istiadat adalah suatu kebisaan bertindak yang belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hokum.Adat istiadat mungkin bertentangan, kebiasaan harus terunifikasi dan bersesuaian (self-consistent).Berikut ini definisi kebiasaan internasional menurut bebrapa para ahli hukum internasional:
1. Mochtar Kusumaatmadja
Unsur material
Unsur psikologis
2. Francesco Parisi
Praktek yang muncul diluar batasan dari hukum, yang mana baik individu maupun lembaga secara spontan mengikutinya di dalam interaksi mereka sama lain yang disebabkan adanya rasa kewajiban secara hukum
3.Boer Mauna
Praktek-praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya melalui suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain
4. Starke
Adat Istiadat, adalah kebiasaan yang belum memperoleh pengesahan hukum dan mungkin bertentangan satu sama lain Kebiasaan, harus terunifikasi dan berkesesuaian
B. PERKEMBANGAN KEBIASAAN
Unsur kebiasaan merupakan suatu bentuk kaidah hukum internasional dari sejak zaman purba sampai dengan zaman modern. Pada masa Yunani kono, kaidah-kaidqah hokum perang dan damai timbul dari kebiasaan-kebisaan umum yang ditati oleh Negara-negara kota Yunani. Kaidah-kaidah kebisaan ini diberikan bentuk yang jelas melalui proses generalisasi dan unifikasi berbagai macam adat istida sebelumnya secara sendiri-sendiri ditaati oleh masing-masing republic kota.Proses serupa berlangsung di antara Negara-negara ecil Italia pada Abad pertengahan.Abad ke-16 dan ke-17 Eropa menjadi wilayah yang penuh dengan negar-negara nasional dan lebih luas. Dari adat-istiadat yang berkembang dalam hubungan Negara-negara Eropa modern tersebut muncul kaidah-kaidah hukum internsional.
C. UNSUR-UNSUR KEBIASAAN INTERNSIONAL
Unsur-unsur kebiasaan internsional telah dijelaskan pada Pasal 38 (1) sub b Statuta Mahkamah Internsional bahwa jelaslah untuk dapat dikatakan suatu kebiasaan internsional itu merupakan sumber hukum internsional harus memenuhi sebagai berikut:
a. Harus Terdapat Suatu Kebiasaan yang Bersifat Umum
Dalam unsur ini tini merupakan prasyarat material. Prasyarat material di sini dimaksudkan adalah suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan bersifat umum, apabila memenuhi prasyarat tertentu pula.Prasyarat-prayaratan yang dimaksud antara lain :
1. Perlu adanya suatu kebisaan/praktek,
yaitu suatu pola tindakan yang berlangsung lama atau dilakukan secara berulang kali.
2. Pola tindakan yang dilakukan harus merupakan rangkaian tindakan
Rangkaian tindakan itu harus mengenai suatu hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa pula
3. Pola tindakan yang dilakukan secara berulang kali
Terhadap hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa itu, harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internsional.
ANALISIS MENGENAI UNSUR-UNSUR KEBIASAAN INTERNSIONAL
Pertimbangan-timbangan mengenai prasyarat suatu kebiasaan internsional dapat diterima secara umum adalah menurut penulis bahwa timbulnya suatu kebiasaan bukan hanya factor pengulangan pengulangan yang sama, namun dalam praktek mungkin bisa saja adanya factor konflik, dan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-aturan internasional.
Faktor Konflik
Hal ini bisa dilihat pada akhir-akhir ini banyak terjadi konflik berenjata di timur tengah yang semula adanya perjanjian-pernjian untuk melindungi korban perang namun ternyata hal ini tidak dapat efektif dilaksanakan maka belum lama ini dilakukukan oleh (ICRC) Internasional Palang Merah untuk International tentang Perlindungan Korban Perang yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian internasional baru. Akan tetapi yang berasal dari hukum kebisaan internsional. Kemudian kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang bertemu di Jenewa pada bulan Januari 1995 dan mengadopsi sejumlah rekomendasi yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap HHI, terutama dengan cara mengambil langkahlangkah preventif yang bisa menjamin bahwa HHI akan diketahui dengan lebih baik dan dilaksanakan dengan lebih efektif.
Rekomendasi II dari Kelompok Pakar Antarpemerintah tersebut ialah: bahwa ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah laporan tentang aturanaturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku (applicable) dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, dengan bantuan pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan berbagai sistem hukum dan secara berkonsultasi dengan pemerintahpemerintah dan organisasi-organisasi internasional, dan untuk mengedarkan laporan tersebut ke Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang kompeten. Hampir sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006, seusai dilakukan penelitian yang ekstensif dan konsultasi yang meluas dengan para pakar, maka laporan ini, yang sekarang disebut sebagai Studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (Study on Customary International Humanitarian Law) (Jean-Marie Henckaerts, Jurnal Hukum Internasional Volume 87 Nomor 857 Maret 2005 International Review of the Red Cross).
Penyimpangan-Penyimpangan Kecil
Dalam hukum internsional ada pula kebiasaan internsional yang timbul akibat adanya penyimpangan-penyimpangan kecil sehingga muncul suatu kaidah baru pada pratek Negara yang menggunakan kaidah internsional dalam praktek-praktek Negara. Hal ini dapat dilihat pada contoh yang terkenal adalah penambangan batu bara di Selat Inggris (Engglish Channel) di Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon dan di teluk Persia yang didasarkan atas kebiasaan yang telah berlaky sejak dulu kala (Muctar Kusumaatdja, 1986: 85).
Contoh yang lain pada tahun 1951 terjadi adanya sengketa Perikananan anatara Inggris dan Norwegia yang diselesaikan di Mahkamah Internasional (Internatinal Court of Justice) yang dikenal dengan nama’’Anglo-Norwegian Fisheries Cese’’ tentang penarikan garis ukur, di mana pihak Norwegia menganut sistem pengukuran yang telah dianut oleh Nowegia secara tradisinal tanpa adanya tentangan dari Negara-negara lain termasuk Inggris sendiri. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa yang ditetapkan dalam Firman Raja tahun 1935 (yang dianut Norwegia) tidak berteentangab dengan hukum Internasional.Sehingga hal ini memungkinkan kaidah hukum itu dapat diterima secara umum dan dengan demikian hl itu pula diikuti oleh Negara-negara lain maka timbullah kaidah hukum kebiasaaan internsional.
Perimbangan-pertimbangan yang lainya masih terkait dengan pegulangan kebiasaan itu adalah lamanya usia tindakan-tindakan yang dianggap perlu menjadi pertimbangan. Namun waktu yang singkat mungkin mencukupi apabila praktek Negara itu telah meluas dan keseragaman dalam semua tujuan praktis misalnya berkaitan dengan evolusi pada prinsip bahwa suatu Negara partai memiliki hak-hak untuk mengeksploitasi, dan lain-lain, landas kontinennya (Starke, 2006: 48).
b. Kebiasaan itu Harus Diterima Sebagai Hukum
Unsur ke dua, yaitu unsure psikologis menhendaki bahwa kebiasaan internasional dirasa mememuhi suruhan kaiedah atau kewajiban hukum, atau seoerti dikatakan dalam bahasa latin ‘ opinion juris sive necessitatis’’ Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila Negara-negara menrimanya sebagai demikian, artinya apabila Negara-negara itu tidak menyatakan kebebratan terhadapnya.Keberatan ini dapat dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatic (protes) atau dengan jalan hukum debgan menunjukkan keberatan-keberatan di hadapan mahkamah.
Contoh Kebiasaan Diterima Sebagai Hukum
a. Contoh dari pada ketentuan hukum internsional yang terjadi melalui proses kebiasaa
n internasional terdapat misalnya di dalam hukum perang.Penggunaan bendara putih sebagai bendara parlementer, yaitu bendera yang memberi perlindungan kepda utusan yang dikirim untuk mengadaikan hubungan dengan pihak musuh, timbul karena kebiasaan demikian di masa lampau diterima sebagai sesuai dengan hukum.
b. Dan hukum mengenai perlakuan terjadap tawanan perang peradilan meneurut rasa kemanusiaan. Hal-hal tersebut timbul karena kebiasaan perlakuan demikian, berulang kali terjadi, dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat internasional, karena dirasa memuhi rasa keadian dan rasa kemanusiaan inernsional
Sebaliknya di hukum perang pun ada contoh-contoh mengenai kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah menjelma ketentuan hukum.Dalam perang dunia ke-I dan ke-II merupakan kebiasaan bagi kapal selam Jerman untuk menenggalamkan kapal-kapal dagang fihak lawan tanpa pemberitahuan lebih dahulu, tanpa membeir kesempatan kepada awak kapal untuk menyelematkan dirinya (Muctar Kusummatmadja, 1982: 136).
Dapat dilihat bahwa dalam hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang menyatakan bahwa:
1. sebelum mengenggelamkan kapal dagang musuh suatu kapal selam harus membeir isyarat peringatan
2. dan kesempatan awal pada awak kapal untuk menyelamatakan dirinya.
Dengan begitu tidak terasa bahwa selama Perang dunia I dan Perang dunia II telah terjadi suat kebiasaan penenggelaman kapal-kapal niaga fihak lawan oleh kapal selam Jerman tanpa memenuhi kedua syarat hkum perang di laut tersebut di atas.
Dalam situasi yang knkrit memang sukar sekali untuk menetapkan setelah berapa lama dapat diakatakan telah terbentuknya satu kebiasaan.Tentang hal ini tidak dapat ada ketentuan yang pasti.Ada kalanya diperlukan satu waktu yang lama sekali akan tetapi ada juga contoh di mana masyarakat internasional telah menerima satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang begitu lama
D. HUBUNGAN ANTARA KEBIASIASAAN INTERNASIONAL DENGAN PERJANJIAN INTERNASIONAl
Pada hakikatnya terdapat kedudukan dan hubungan kebiasaan internasional dengan perjanjian internsional.Baik kebiasaan internsional maupun perjanjian internsional, keduanya memiliki kedudukan sebagai sumber hukum internsional primer.Dapat hal ini dapat dilihat ketentuan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tentang sumber-sumber hukum internsional :
a. perjanjian-perjanjian Internasional
b. kebiasaan-kebiasaan internasional
c. prinsip-prinsip hokum yang umum keputusan-keputusan pengadilan
d. ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara
Dari pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internsiona menunjukkan bahwa penempatan (hirarki) hukum perjanjian pada tempat teratas menurut pendapat penulis hal ini tidaklah menujukkan superioritas satu terhadap yang lainnya. Yang terpenting adalah menggambarjkan hubungan yang terjalin antara kebiasaan internsional sebagai sumber hukum internsional itu tidak berdiri sendiri. Sehingga sebagai sumber hukum internsional kukum kebiasaan mempunyai hubungan yabg sangat erat dengan perjanjian internsional.
Hubungan keduanya merupakan hubungan yang bersifat timbale balik, hubungan yang saling mengisi dan saling melengkapi satu sama lainnya. Hubungan yang bersifat timbale balik itu dapat ditunjukkan bahwa di satu pihak dapat terjadi di mana kebiasaan-kebiasaan internsional dapat melahirkan kaidah-kaidah hukum internsional, yang kemudian diteguhkan dan dikokohkan di dalam konvensi-konvensi internasional.Contoh konvensi Den Haag tahun 1907,Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan para korban perang.
Sebaliknyapada pihak yang lain, dapat terjadi pula bahwa perjanjian internasional yang berulang kalu diadakan mengenai hal yang sama dalam keadaan yang serupa, dapat menimbulkan dan melahirkan suatu kebiasaan dan dapat menciptakan lembaga-lembaga hukum melaui proses hukum kebiasaan internasional.Contohnya diadakannya perjanjian-perjanjian internsional bilateral secara berulang ali mengenai hubungan konsuler hal ini dapat menmbulkan suatu kompleksitas kaidah hukum kebiasaan tentang hubungan konsuler.
E. PRAKTEK NEGARA- NEGARA DEWASA INI
Mengenai praktek-praktek dewasa ini terkait dengan kebisaaan internasional bukan hanya saja traktat yang keberadaannya banyak menjadi perbincangan pada era sekarang ini, namun keberadaan kebiasaan internasional tidak dapat ditinggalkan begitu saja.Dalam praktek-praktek dewasa ini (actual practice of state), bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek internsional dapat ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek internasional dapat ditemukan halhal yang dapat menunjukkan tindakan-tindakan atau peristiwa yang kemudian dianggap dianggap sebagai international customary law (Hamid Awaliddin, 2008:134) yaitu:
a. Laporan-laporan di surat kabar
b. Pernyataan (statement) yang dibuat oleh pemerintah dalam suatu komprensi hukum nasional Negara-negara
c. Keputusan-keputusan pengadilam (nasional-internasional)
d. Tulisan-tulisan para penulis terkenal terkemuka dari Negara-negara, termasuk di dalamnya opinion juris
e. Praktek-praktek dari organ-organ internasional (universal-regional)
Dengan melihat praktek Negara-negara dewasa ini pada point a dan b mengutip pendapatnya dari Starke mengenai penguman-pengumuman berita (press release) ataupun pernyataan resmi oleh juru bicara pemerintah semuanya akan menjadi bukti adat-istiadat yang diikuti oleh Negara-negara.Dalam kaitannya ini baik tindakan maupun pernyataan-pernyataan tertulis (tulisan atau lisan) mempunyai dasar yang sama.
Namun menurut pendapat penulis mengenai laporan-laporan di surat kabar agaknya kurang bisa relevan dijadikan sumber hukum upaya menetapkan hukum karena kemungkinan sering kali laporan-laoran di surat kabar banyak ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dengan pemberitaan-pemberitaan yang kurang obyektif pada pokok permasalahan dan hanya ditambahi-tambahi suatu isu yang berbau politik dengan begitu tidak cukup relevan dijadikan sumber hukum kebiasaan Internsional walupun itu sudah bayak Negara yang mempraktekkannya.Kalau pada point b cukuplah relevan dijadikan sumber hukum karena yang demikian dibuat oleh pemerintah dalam suatu komprensi hukum nasional Negara-negara.
Tidak terkecuali pada point c dan d menurut pendapat penulis mengenai praktek-praktek di atas cukup relevan dijadikan sumber hukum karena keputusan-keputusan yudisial dari pengadilan-pengadilan nasional atau praktek Negara dan para penulis terkenal, akan memperlihatkan besarnya pemakaian kaidah-kaidah yang sama untuk memperkirakan penakuan umum atas suatu prinsip hukum yang luas.
Begitu juga pada point e praktek-praktek organ-organ internasional dapat membawa pada berkembangnya kaidah-kaidah kebiasaan hkum internsional mengenai status Negara-negara yang bersangkutan dan wewenang-wewenang serta tanggung jawabnya sebagai contohnya mengutip pendapatnya Starke menyebutkan ‘dalam opini Nasihat yang menyatakan bahwa Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai kewenangan untuk mengatur syarat-syarat kerja secara internsional atas orang-orang yang dipekerjakakan di bidang pertanian, permanent of Court of Justicemendasarkan pendapatnya pada praktek organisasi tersebut. Dalam sebuah Opini Nasihatnya yang penting, yang akan menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan personaliatas hukum internsional, Internasional Court of Justice mendasarkan opininya itu sebagaian pada praktek Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam membuat Traktat’ (Starke, 2006:46).
a. Praktek Indonesia Pada Hukum Kebiasaan Internasional dalam Hubungan Hukum Nasional Indonesia.
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum begitu menampakkan adanya suatu kepastian.Namun untuk bebrapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan internasional sebagao bagian dari hukum nasional Indonesia.Misalnya, hukum kebiasaan yang berlaku di laut.Seperti misalnya tentang hak lintas damai (right of passage innocent) bagi kapal-kapal asing di laut territorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal-kapal asing, tertama sekali setelah setelah Indonesia memperleh kemaerdekaan.Demikian juga dalam bidang perlakuan terhadap orang asing yang berada dalam wilayah Indonesia, yang menurut hukum kebasaan internasional orang asing harus diperlakukansesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internsional seperti misalnya berdasarkan prinsip perlakuan standar minimum menurut hukum internsional, oleh Indonesia ditaati sepenuhnya.
Akan tetapi pernah terjadi bahwa Indonesia justru bertindak sebaliknya yaitu dengan mengesampingkan hukum kebiasaan internsional dan mengutamakan hukum atau undang-undang nasionalnya.Dalam hal ini dalam kasus nasionalisasi perusahaaan-perusahaan asing milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.Pada tanggal 31 Desmber 1958 Indonesia mengeluarkan undang-undang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada dalam wilayah RI (Undang-Undang No: 86 tahun 1957) dan mengambil langkah nasionalisasi perusahan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.Pihk Belanda mempermasalahkan keabsahaan undang-undang nasionalisasi tersebut, melainkan hanya mempersoalkan pembayaran ganti rugi yang dianut dan diterapkan oleh Indonesia yang nyata-nyata bertentabgab dengan hukum kebiasaan internasional yang dianut secara luas dalam hal pembayaran ganti rugi yaitu sesuai dengan prinsip ‘’prompt, effective and adequate.’’Prinsip ini pada dasarnya mengaharuskan dilakukan pembayaran dengan segera (prompt) atas obyek yang dinasinalisasi, harus benar-benar dapat mencapai sasaran yaitu pembayaran ganti rugi itu benar-benar dibayarkan oleh pihak yang terkena nasionalisasi dan benar-benar tepat guna bagi ihak yang bersangkutan (effective).
Akibatnya lebih lanjut adalah terjadinya sengketa antara Indonesia dan Belanda yang diajukan di hadapan pengadilan Bremen (Jerman Barat).Jatuhnya perkara ini ke tangan pengadian Bremen antara lain disebabkan sebagaian dan barang yang terkena nasionalisasi yaitu berupa tembakau berada di atay sedang dalam perjalanan menuju Bremen.Pengadilan Bremen tampaknta bisa memahami dalil yang diajukan oleh Indonesia dan aturannya memenangkan pihak Indonesia.
Dengan demikian melalui yurisprupensi, maka prinsip baru yang diajukan oleh Indonesia itu kini menjadi sumber hukum internasional positif, yang dapat dijadikan sumber hukum dan dianut oleh Negara-negara lain dalam menghadapi kasus yang serupa.
b. Praktek Inggris Pada Hukum Kebiasaan Internasional dalam Hubungan Hukum Nasional Inggris.
Di Inggris yang sangat menonjol adalah terkait dengan hukum kebiasaan yang di sana hukum Kebiasaan Internasional diterima sebagai bagaian dari berlaku sebagai hukum nasional Inggris.Prakteknya Inggris menunjukkan bahwa hukum kebiasaan Internasional bagian dari hukum nasional Inggris.Namun tidaklah semua hukum kebiasaan Internasional harus diterima semua dalam hukum nasional Inggris.
Dalam hal ini ada suatu syarat yang harus dipenuhi supaya hukum kebiasaan internasional itu dapat diterima sebagai bagian hukum nasional Inggris.Syarat tersebut adalah, hukum kebiasaan internasional itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang Inggris. Jika hukum kebiasaan itu bertentangan dengan undang-undang Inggris, baik undang-undang itu lahir lebih dahulu atapun belakangan dari pada hukum kebiasaan internasional itu, maka Inggris akan menolak hukum kebiasaan internasional dan mengutamakan penerapan undang-undangnya. Hal ini berarti bahwa Inggris akan mendahulukan hukum nasionalnya sendiri atas hukum kebiasaan internasional.
Pengadilan Inggris
Sebagai Negara yang bersistem hukum common law dimana peranan badan peradilan dalam proses pembentukan hukum cukup berpengaruh, badan peradilan khususnya badan peradilan tertinggi di Inggris mempunyai peranan penting.Dapat diambil contohnya adalah jika misalnya Mahkamah Agung Inggris pada suatu waktu memeutuskan bahwa suatu kaidah hukum kebiasaan internasional dinyatakan menjadi bagian dari hukum nasional Inggris maka seluruh badan peradilan Inggris yang lainnya harus menaati. Meskipun kemudian timbul hukum kebiasaan internasional baru yang bertentangan atau mengapuskan keberadaan hukum kebiasaan Internasional yang sudah dinyatakan sebagai bagian dari hukum nasional Inggris itu.Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Inggris tetap masih mengutamakan hukum kebiasaan yang sudah diadaptasi sebagai bagian dari hukum nasionalnya itu, sampai nantinya pada suatu wakty Mahkamah Agung Inggris menyatakan bahwa hukum kebiasaan Internasional baru itudapat dinyatakan sebagai bagian dari hukum nasional Inggris menggantikan kedudukan dari hukum kebiasaan Internasional yang lama tersebut.
Lebih lanjut lagi bahwa Pengadilan Inggris juga harus menaati tindakan dan kebijaksaan pada pihak eksekutifnya yang berkenaan dengan masalah-masalah luar negeri atau masalah Internasional yang memang merupakan hak prerogative dari eksekutif, misalnya jika eksekutif Inggis telah memberikan pengakuan (recognition) atas suatu Negara baru atau pemerintah yang sah dari suatu Negara, maka pengadilan wajib menaati tindakan eksekutif tersebut.Ataujika eksekutif melakukan nasionalisasi milik asing atau melakukan deportase terhadap orang asing maka badan-badan pengadian harus menaatinya.