EKSISTENSI
KEBIASAAN INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A. PENGERTIAN KEBIASAAN (COSTORY)
Istilah ‘kebiasaan’ (custom) dan adat istiadat’
(usage) sering digunakan secara bergantian. Secara tegas dapat dikatakan, ada
suatu perbedaan teknis yang tegas di antara kedua istilah tersebut. Adat
istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Kebiasaan mulai
apabila adat istiadat berakhir. Adat istiadat adalah suatu kebisaan bertindak
yang belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hokum.Adat istiadat mungkin
bertentangan, kebiasaan harus terunifikasi dan bersesuaian
(self-consistent).Berikut ini definisi kebiasaan internasional menurut bebrapa
para ahli hukum internasional:
1. Mochtar
Kusumaatmadja
Unsur material
Unsur psikologis
2. Francesco Parisi
Praktek yang muncul diluar batasan dari hukum, yang mana baik individu maupun
lembaga secara spontan mengikutinya di dalam interaksi mereka sama lain yang
disebabkan adanya rasa kewajiban secara hukum
3.Boer Mauna
Praktek-praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya
melalui suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh
negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau
tantangan dari pihak lain
4. Starke
Adat Istiadat, adalah kebiasaan yang belum memperoleh pengesahan hukum dan
mungkin bertentangan satu sama lain Kebiasaan, harus terunifikasi dan
berkesesuaian
B. PERKEMBANGAN KEBIASAAN
Unsur kebiasaan merupakan suatu bentuk kaidah hukum internasional dari sejak
zaman purba sampai dengan zaman modern. Pada masa Yunani kono,
kaidah-kaidqah hokum perang dan damai timbul dari kebiasaan-kebisaan umum yang
ditati oleh Negara-negara kota Yunani. Kaidah-kaidah kebisaan ini diberikan
bentuk yang jelas melalui proses generalisasi dan unifikasi berbagai macam adat
istida sebelumnya secara sendiri-sendiri ditaati oleh masing-masing republic
kota.Proses serupa berlangsung di antara Negara-negara ecil Italia pada Abad
pertengahan.Abad ke-16 dan ke-17 Eropa menjadi wilayah yang penuh dengan
negar-negara nasional dan lebih luas. Dari adat-istiadat yang berkembang dalam
hubungan Negara-negara Eropa modern tersebut muncul kaidah-kaidah hukum
internsional.
C. UNSUR-UNSUR KEBIASAAN INTERNSIONAL
Unsur-unsur kebiasaan internsional telah dijelaskan pada Pasal 38 (1) sub b
Statuta Mahkamah Internsional bahwa jelaslah untuk dapat dikatakan suatu
kebiasaan internsional itu merupakan sumber hukum internsional harus memenuhi
sebagai berikut:
a. Harus Terdapat Suatu Kebiasaan yang Bersifat Umum
Dalam unsur ini tini merupakan prasyarat material. Prasyarat material di sini
dimaksudkan adalah suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan bersifat umum,
apabila memenuhi prasyarat tertentu pula.Prasyarat-prayaratan yang dimaksud
antara lain :
1. Perlu adanya suatu kebisaan/praktek,
yaitu suatu pola tindakan yang berlangsung lama atau dilakukan secara berulang
kali.
2. Pola tindakan yang dilakukan harus merupakan rangkaian tindakan
Rangkaian tindakan itu harus mengenai suatu hal yang sama dan dalam keadaan
yang serupa pula
3. Pola tindakan yang dilakukan secara berulang kali
Terhadap hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa itu, harus bersifat umum
dan bertalian dengan hubungan internsional.
ANALISIS MENGENAI UNSUR-UNSUR KEBIASAAN INTERNSIONAL
Pertimbangan-timbangan mengenai prasyarat suatu kebiasaan internsional dapat
diterima secara umum adalah menurut penulis bahwa timbulnya suatu kebiasaan
bukan hanya factor pengulangan pengulangan yang sama, namun dalam praktek
mungkin bisa saja adanya factor konflik, dan penyimpangan-penyimpangan terhadap
aturan-aturan internasional.
Faktor Konflik
Hal ini bisa dilihat pada akhir-akhir ini banyak terjadi konflik
berenjata di timur tengah yang semula adanya perjanjian-pernjian untuk
melindungi korban perang namun ternyata hal ini tidak dapat efektif
dilaksanakan maka belum lama ini dilakukukan oleh (ICRC)
Internasional Palang Merah untuk International tentang Perlindungan Korban
Perang yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-September 1993
membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional (HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah
perjanjian internasional baru. Akan tetapi yang berasal dari hukum kebisaan
internsional. Kemudian kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban
Perang bertemu di Jenewa pada bulan Januari 1995 dan mengadopsi sejumlah
rekomendasi yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap HHI, terutama
dengan cara mengambil langkahlangkah preventif yang bisa menjamin bahwa HHI
akan diketahui dengan lebih baik dan dilaksanakan dengan lebih efektif.
Rekomendasi II dari Kelompok Pakar Antarpemerintah tersebut
ialah: bahwa ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah laporan tentang
aturanaturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku
(applicable) dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional,
dengan bantuan pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan berbagai sistem
hukum dan secara berkonsultasi dengan pemerintahpemerintah dan
organisasi-organisasi internasional, dan untuk mengedarkan laporan tersebut ke
Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang kompeten. Hampir sepuluh
tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006, seusai dilakukan penelitian yang
ekstensif dan konsultasi yang meluas dengan para pakar, maka laporan ini, yang
sekarang disebut sebagai Studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (Study
on Customary International
Humanitarian Law) (Jean-Marie Henckaerts, Jurnal Hukum Internasional
Volume 87 Nomor 857 Maret 2005 International
Review of the Red Cross).
Penyimpangan-Penyimpangan Kecil
Dalam hukum internsional ada pula kebiasaan internsional yang timbul akibat
adanya penyimpangan-penyimpangan kecil sehingga muncul suatu kaidah baru pada
pratek Negara yang menggunakan kaidah internsional dalam praktek-praktek
Negara. Hal ini dapat dilihat pada contoh yang terkenal adalah penambangan batu
bara di Selat Inggris (Engglish Channel) di Cornwall dan pengambilan mutiara
dari dasar laut dekat pantai Ceylon dan di teluk Persia yang didasarkan atas
kebiasaan yang telah berlaky sejak dulu kala (Muctar Kusumaatdja, 1986: 85).
Contoh yang lain pada tahun 1951 terjadi adanya sengketa
Perikananan anatara Inggris dan Norwegia yang diselesaikan di Mahkamah Internasional
(Internatinal Court of Justice) yang dikenal dengan nama’’Anglo-Norwegian
Fisheries Cese’’ tentang penarikan garis ukur, di mana pihak Norwegia menganut
sistem pengukuran yang telah dianut oleh Nowegia secara tradisinal tanpa adanya
tentangan dari Negara-negara lain termasuk Inggris sendiri. Mahkamah
Internasional menyatakan bahwa yang ditetapkan dalam Firman Raja tahun 1935
(yang dianut Norwegia) tidak berteentangab dengan hukum Internasional.Sehingga
hal ini memungkinkan kaidah hukum itu dapat diterima secara umum dan dengan demikian
hl itu pula diikuti oleh Negara-negara lain maka timbullah kaidah hukum
kebiasaaan internsional.
Perimbangan-pertimbangan
yang lainya masih terkait dengan pegulangan kebiasaan itu adalah lamanya usia
tindakan-tindakan yang dianggap perlu menjadi pertimbangan. Namun waktu yang
singkat mungkin mencukupi apabila praktek Negara itu telah meluas dan
keseragaman dalam semua tujuan praktis misalnya berkaitan dengan evolusi pada
prinsip bahwa suatu Negara partai memiliki hak-hak untuk mengeksploitasi, dan
lain-lain, landas kontinennya (Starke, 2006: 48).
b. Kebiasaan itu Harus Diterima Sebagai Hukum
Unsur ke dua, yaitu unsure psikologis menhendaki bahwa kebiasaan internasional
dirasa mememuhi suruhan kaiedah atau kewajiban hukum, atau seoerti dikatakan
dalam bahasa latin ‘ opinion juris sive necessitatis’’ Dilihat secara praktis
suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila
Negara-negara menrimanya sebagai demikian, artinya apabila Negara-negara itu
tidak menyatakan kebebratan terhadapnya.Keberatan ini dapat dapat dinyatakan
dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatic (protes) atau dengan
jalan hukum debgan menunjukkan keberatan-keberatan di hadapan mahkamah.
Contoh Kebiasaan Diterima Sebagai Hukum
a. Contoh dari pada ketentuan hukum internsional yang terjadi melalui proses
kebiasaan internasional
terdapat misalnya di dalam hukum perang.Penggunaan bendara putih sebagai
bendara parlementer, yaitu bendera yang memberi perlindungan kepda utusan yang
dikirim untuk mengadaikan hubungan dengan pihak musuh, timbul karena kebiasaan
demikian di masa lampau diterima sebagai sesuai dengan hukum.
b. Dan hukum mengenai perlakuan terjadap tawanan perang peradilan meneurut rasa
kemanusiaan. Hal-hal tersebut timbul karena kebiasaan perlakuan demikian,
berulang kali terjadi, dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat
internasional, karena dirasa memuhi rasa keadian dan rasa kemanusiaan
inernsional
Sebaliknya di hukum
perang pun ada contoh-contoh mengenai kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah menjelma
ketentuan hukum.Dalam perang dunia ke-I dan ke-II merupakan kebiasaan bagi
kapal selam Jerman untuk menenggalamkan kapal-kapal dagang fihak lawan tanpa
pemberitahuan lebih dahulu, tanpa membeir kesempatan kepada awak kapal untuk
menyelematkan dirinya (Muctar Kusummatmadja, 1982: 136).
Dapat dilihat bahwa
dalam hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang menyatakan bahwa:
1. sebelum mengenggelamkan kapal dagang musuh suatu kapal selam harus membeir
isyarat peringatan
2. dan kesempatan awal pada awak kapal untuk menyelamatakan dirinya.
Dengan begitu tidak
terasa bahwa selama Perang dunia I dan Perang dunia II telah terjadi suat
kebiasaan penenggelaman kapal-kapal niaga fihak lawan oleh kapal selam Jerman
tanpa memenuhi kedua syarat hkum perang di laut tersebut di atas.
Dalam situasi yang
knkrit memang sukar sekali untuk menetapkan setelah berapa lama dapat
diakatakan telah terbentuknya satu kebiasaan.Tentang hal ini tidak dapat ada
ketentuan yang pasti.Ada kalanya diperlukan satu waktu yang lama sekali akan
tetapi ada juga contoh di mana masyarakat internasional telah menerima satu
pola tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang begitu lama
D. HUBUNGAN ANTARA KEBIASIASAAN INTERNASIONAL DENGAN PERJANJIAN
INTERNASIONAl
Pada hakikatnya terdapat kedudukan dan hubungan kebiasaan internasional dengan
perjanjian internsional.Baik kebiasaan internsional maupun perjanjian
internsional, keduanya memiliki kedudukan sebagai sumber hukum internsional
primer.Dapat hal ini dapat dilihat ketentuan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah
Internasional tentang sumber-sumber hukum internsional :
a. perjanjian-perjanjian Internasional
b. kebiasaan-kebiasaan internasional
c. prinsip-prinsip hokum yang umum keputusan-keputusan pengadilan
d. ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara
Dari pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internsiona menunjukkan bahwa penempatan
(hirarki) hukum perjanjian pada tempat teratas menurut pendapat penulis hal ini
tidaklah menujukkan superioritas satu terhadap yang lainnya. Yang terpenting
adalah menggambarjkan hubungan yang terjalin antara kebiasaan internsional
sebagai sumber hukum internsional itu tidak berdiri sendiri. Sehingga sebagai
sumber hukum internsional kukum kebiasaan mempunyai hubungan yabg sangat erat
dengan perjanjian internsional.
Hubungan keduanya
merupakan hubungan yang bersifat timbale balik, hubungan yang saling mengisi
dan saling melengkapi satu sama lainnya. Hubungan yang bersifat timbale balik
itu dapat ditunjukkan bahwa di satu pihak dapat terjadi di mana
kebiasaan-kebiasaan internsional dapat melahirkan kaidah-kaidah hukum
internsional, yang kemudian diteguhkan dan dikokohkan di dalam
konvensi-konvensi internasional.Contoh konvensi Den Haag tahun 1907,Konvensi
Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan para korban perang.
Sebaliknyapada pihak
yang lain, dapat terjadi pula bahwa perjanjian internasional yang berulang kalu
diadakan mengenai hal yang sama dalam keadaan yang serupa, dapat menimbulkan
dan melahirkan suatu kebiasaan dan dapat menciptakan lembaga-lembaga hukum
melaui proses hukum kebiasaan internasional.Contohnya diadakannya
perjanjian-perjanjian internsional bilateral secara berulang ali mengenai
hubungan konsuler hal ini dapat menmbulkan suatu kompleksitas kaidah hukum
kebiasaan tentang hubungan konsuler.
E. PRAKTEK NEGARA- NEGARA DEWASA INI
Mengenai praktek-praktek dewasa ini terkait dengan kebisaaan internasional
bukan hanya saja traktat yang keberadaannya banyak menjadi perbincangan pada
era sekarang ini, namun keberadaan kebiasaan internasional tidak dapat
ditinggalkan begitu saja.Dalam praktek-praktek dewasa ini (actual practice of
state), bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek internsional
dapat ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek internasional
dapat ditemukan halhal yang dapat menunjukkan tindakan-tindakan atau peristiwa
yang kemudian dianggap dianggap sebagai international customary law (Hamid
Awaliddin, 2008:134) yaitu:
a. Laporan-laporan di surat kabar
b. Pernyataan (statement) yang dibuat oleh pemerintah dalam suatu komprensi
hukum nasional Negara-negara
c. Keputusan-keputusan pengadilam (nasional-internasional)
d. Tulisan-tulisan para penulis terkenal terkemuka dari Negara-negara, termasuk
di dalamnya opinion juris
e. Praktek-praktek dari organ-organ internasional (universal-regional)
Dengan melihat praktek
Negara-negara dewasa ini pada point a dan b mengutip pendapatnya dari Starke
mengenai penguman-pengumuman berita (press release) ataupun pernyataan resmi
oleh juru bicara pemerintah semuanya akan menjadi bukti adat-istiadat yang
diikuti oleh Negara-negara.Dalam kaitannya ini baik tindakan maupun
pernyataan-pernyataan tertulis (tulisan atau lisan) mempunyai dasar yang sama.
Namun menurut pendapat
penulis mengenai laporan-laporan di surat kabar agaknya kurang bisa relevan
dijadikan sumber hukum upaya menetapkan hukum karena kemungkinan sering kali
laporan-laoran di surat kabar banyak ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dengan pemberitaan-pemberitaan yang
kurang obyektif pada pokok permasalahan dan hanya ditambahi-tambahi suatu isu
yang berbau politik dengan begitu tidak cukup relevan dijadikan sumber hukum
kebiasaan Internsional walupun itu sudah bayak Negara yang
mempraktekkannya.Kalau pada point b cukuplah relevan dijadikan sumber hukum
karena yang demikian dibuat oleh pemerintah dalam suatu komprensi hukum
nasional Negara-negara.
Tidak terkecuali pada
point c dan d menurut pendapat penulis mengenai praktek-praktek di atas cukup
relevan dijadikan sumber hukum karena keputusan-keputusan yudisial dari
pengadilan-pengadilan nasional atau praktek Negara dan para penulis terkenal,
akan memperlihatkan besarnya pemakaian kaidah-kaidah yang sama untuk
memperkirakan penakuan umum atas suatu prinsip hukum yang luas.
Begitu juga pada point
e praktek-praktek organ-organ internasional dapat membawa pada berkembangnya
kaidah-kaidah kebiasaan hkum internsional mengenai status Negara-negara yang
bersangkutan dan wewenang-wewenang serta tanggung jawabnya sebagai contohnya
mengutip pendapatnya Starke menyebutkan ‘dalam opini Nasihat yang menyatakan
bahwa Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai kewenangan untuk mengatur
syarat-syarat kerja secara internsional atas orang-orang yang dipekerjakakan di
bidang pertanian, permanent of Court of Justicemendasarkan pendapatnya pada
praktek organisasi tersebut. Dalam sebuah Opini Nasihatnya yang penting, yang
akan menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan personaliatas hukum
internsional, Internasional Court of Justice mendasarkan opininya itu sebagaian
pada praktek Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam membuat Traktat’ (Starke,
2006:46).
a. Praktek Indonesia Pada Hukum Kebiasaan Internasional dalam
Hubungan Hukum Nasional Indonesia.
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum begitu menampakkan
adanya suatu kepastian.Namun untuk bebrapa hal, Indonesia menerima hukum
kebiasaan internasional sebagao bagian dari hukum nasional Indonesia.Misalnya,
hukum kebiasaan yang berlaku di laut.Seperti misalnya tentang hak lintas damai
(right of passage innocent) bagi kapal-kapal asing di laut territorial
Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh
kapal-kapal asing, tertama sekali setelah setelah Indonesia memperleh
kemaerdekaan.Demikian juga dalam bidang perlakuan terhadap orang asing yang
berada dalam wilayah Indonesia, yang menurut hukum kebasaan internasional orang
asing harus diperlakukansesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
kebiasaan internsional seperti misalnya berdasarkan prinsip perlakuan standar
minimum menurut hukum internsional, oleh Indonesia ditaati sepenuhnya.
Akan tetapi pernah
terjadi bahwa Indonesia justru bertindak sebaliknya yaitu dengan
mengesampingkan hukum kebiasaan internsional dan mengutamakan hukum atau
undang-undang nasionalnya.Dalam hal ini dalam kasus nasionalisasi
perusahaaan-perusahaan asing milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.Pada
tanggal 31 Desmber 1958 Indonesia mengeluarkan undang-undang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada dalam wilayah RI (Undang-Undang
No: 86 tahun 1957) dan mengambil langkah nasionalisasi perusahan-perusahaan
milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.Pihk Belanda mempermasalahkan
keabsahaan undang-undang nasionalisasi tersebut, melainkan hanya mempersoalkan
pembayaran ganti rugi yang dianut dan diterapkan oleh Indonesia yang
nyata-nyata bertentabgab dengan hukum kebiasaan internasional yang dianut
secara luas dalam hal pembayaran ganti rugi yaitu sesuai dengan prinsip
‘’prompt, effective and adequate.’’Prinsip ini pada dasarnya mengaharuskan
dilakukan pembayaran dengan segera (prompt) atas obyek yang dinasinalisasi,
harus benar-benar dapat mencapai sasaran yaitu pembayaran ganti rugi itu
benar-benar dibayarkan oleh pihak yang terkena nasionalisasi dan benar-benar
tepat guna bagi ihak yang bersangkutan (effective).
Akibatnya lebih lanjut adalah terjadinya sengketa antara Indonesia dan Belanda
yang diajukan di hadapan pengadilan Bremen (Jerman Barat).Jatuhnya perkara ini
ke tangan pengadian Bremen antara lain disebabkan sebagaian dan barang yang
terkena nasionalisasi yaitu berupa tembakau berada di atay sedang dalam
perjalanan menuju Bremen.Pengadilan Bremen tampaknta bisa memahami dalil yang
diajukan oleh Indonesia dan aturannya memenangkan pihak Indonesia.
Dengan demikian
melalui yurisprupensi, maka prinsip baru yang diajukan oleh Indonesia itu kini
menjadi sumber hukum internasional positif, yang dapat dijadikan sumber hukum
dan dianut oleh Negara-negara lain dalam menghadapi kasus yang serupa.
b. Praktek Inggris Pada Hukum Kebiasaan Internasional dalam
Hubungan Hukum Nasional Inggris.
Di Inggris yang sangat menonjol adalah terkait dengan hukum kebiasaan yang di
sana hukum Kebiasaan Internasional diterima sebagai bagaian dari berlaku
sebagai hukum nasional Inggris.Prakteknya Inggris menunjukkan bahwa hukum
kebiasaan Internasional bagian dari hukum nasional Inggris.Namun tidaklah semua
hukum kebiasaan Internasional harus diterima semua dalam hukum nasional
Inggris.
Dalam hal ini ada
suatu syarat yang harus dipenuhi supaya hukum kebiasaan internasional itu dapat
diterima sebagai bagian hukum nasional Inggris.Syarat tersebut adalah, hukum
kebiasaan internasional itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
Inggris. Jika hukum kebiasaan itu bertentangan dengan undang-undang Inggris,
baik undang-undang itu lahir lebih dahulu atapun belakangan dari pada hukum
kebiasaan internasional itu, maka Inggris akan menolak hukum kebiasaan
internasional dan mengutamakan penerapan undang-undangnya. Hal ini berarti
bahwa Inggris akan mendahulukan hukum nasionalnya sendiri atas hukum kebiasaan
internasional.
Pengadilan Inggris
Sebagai Negara yang bersistem hukum common law dimana peranan badan peradilan
dalam proses pembentukan hukum cukup berpengaruh, badan peradilan khususnya
badan peradilan tertinggi di Inggris mempunyai peranan penting.Dapat diambil
contohnya adalah jika misalnya Mahkamah Agung Inggris pada suatu waktu
memeutuskan bahwa suatu kaidah hukum kebiasaan internasional dinyatakan menjadi
bagian dari hukum nasional Inggris maka seluruh badan peradilan Inggris yang
lainnya harus menaati. Meskipun kemudian timbul hukum kebiasaan internasional
baru yang bertentangan atau mengapuskan keberadaan hukum kebiasaan
Internasional yang sudah dinyatakan sebagai bagian dari hukum nasional Inggris
itu.Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Inggris tetap masih mengutamakan hukum
kebiasaan yang sudah diadaptasi sebagai bagian dari hukum nasionalnya itu,
sampai nantinya pada suatu wakty Mahkamah Agung Inggris menyatakan bahwa hukum
kebiasaan Internasional baru itudapat dinyatakan sebagai bagian dari hukum
nasional Inggris menggantikan kedudukan dari hukum kebiasaan Internasional yang
lama tersebut.
Lebih lanjut lagi
bahwa Pengadilan Inggris juga harus menaati tindakan dan kebijaksaan pada pihak
eksekutifnya yang berkenaan dengan masalah-masalah luar negeri atau masalah
Internasional yang memang merupakan hak prerogative dari eksekutif, misalnya
jika eksekutif Inggis telah memberikan pengakuan (recognition) atas suatu Negara
baru atau pemerintah yang sah dari suatu Negara, maka pengadilan wajib menaati
tindakan eksekutif tersebut.Ataujika eksekutif melakukan nasionalisasi milik
asing atau melakukan deportase terhadap orang asing maka badan-badan pengadian
harus menaatinya.